KHADIJAH BINTI KHUWAILID R.A.

Khadijah binti Kuwailid.
Siti Khadijah adalah putri Khuwailid bin As’ad bin Abdul Uzza bin Qushai bin Kilab al-Qurasyiyah al-Asadiyah. Siti Khadijah dilahirkan di rumah yang mulia dan terhormat, pada tahun 68 sebelum hijrah. Khadijah tumbuh dalam lingkungan yang keluarga yang mulia, sehingga akhirnya setelah dewasa ia menjadi wanita yang cerdas, teguh, dan berperangai luhur. Karena itulah banyak laki-laki dari kaumnya yang menaruh simpati padanya. Syaikh Muhammad Husain Salamah menjelaskan bahwa Siti Khadijah, nasab dari jalur ayahnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada kakeknya yang bernama Qushay. Dia menempati urutan kakek keempat bagi dirinya.
Pada tahun 575 Masehi, Siti Khadijah ditinggalkan ibunya. Sepuluh tahun kemudian ayahnya, Khuwailid, menyusul. Sepeninggal kedua orang tuanya, Khadijah dan saudara-saudaranya mewarisi kekayaannya. Kekayaan warisan menyimpan bahaya. Ia bisa menjadikan seseorang lebih senang tinggal di rumah dan hidup berfoya-foya. Bahaya ini sangat disadari Khadijah. Ia pun memutuskan untuk tidak menjadikan dirinya pengangguran. Kecerdasan dan kekuatan sikap yang dimiliki Khadijah mampu mengatasi godaan harta. Karenanya, Khadijah mengambil alih bisnis keluarga.
Pernikahan Khadijah (Sebelum Bersama Muhammad).
Pada mulanya, Siti Khadijah menikah dengan Abu Halah bin Zurarah at-Tamimi. Pernikahan itu membuahkan dua orang anak yang bernama Halah dan Hindun. Tak lama kemudian suamianya meninggal dunia, dengan meninggalkan kekayaan yang banyak, juga jaringan perniagaan yang luas dan berkembang. Lalu Siti Khadijah menikah lagi untuk yang kedua dengan Atiq bin ‘A’id bin Abdullah al-Makhzumi. Setelah pernikahan itu berjalan beberapa waktu, akhirnya suami keduanya pun meninggal dunia, yang juga meninggalkan harta dan perniagaan.
Dengan demikian, saat itu Siti Khadijah menjadi wanita terkaya di kalangan bangsa Quraisy. Karenanya, banyak pemuka dan bangsawan bangsa Quraisy yang melamarnya, mereka ingin menjadikan dirinya sebagai istri. Namun, Siti Khadijah menolak lamaran mereka dengan alas an bahwa perhatian Khadijah saat itu sedang tertuju hanya untuk mendidik anak-anaknya. Juga dimungkinkan karena, Khadijah merupakan saudagar kaya raya dan disegani sehingga ia sangat sibuk mengurus perniagaan.
at-Thahirah
Siti Khadijah mempunyai saudara sepupu yang bernama Waraqah bin Naufal. Beliau termasuk salah satu dari hanif  di Mekkah. Ia adalah sanak keluarga Khadijah yang tertua. Ia mengutuk bangsa Arab yang menyembah patung dan melakukan penyimpangan dari kepercayaan nenek moyang mereka (nabi Ibrahim dan Ismail).
Para sejawatnya mengakui keberhasilan Siti Khadijah, ketika itu mereka memanggilnya “Ratu Quraisy” dan “Ratu Mekkah”. Ia juga disebut sebagai at-Thahirah, yaitu “yang bersih dan suci”. Nama at-Thahirah itu diberikan oleh sesama bangsa Arab yang juga terkenal dengan kesombongan, keangkuhan, dan kebanggaannya sebagai laki-laki. Karenanya perilaku Khadijah benar-benar patut diteladani hingga ia menjadi terkenal di kalangan mereka.
Pertama kali dalam sejarah bangsa Arab, seorang wanita diberi panggilan Ratu Mekkah dan juga dijuluki at-Thahirah. Orang-orang memanggil Khadijah dengan Ratu Mekkah karena kekayaannya dan menyebut Khadijah dengan at-Thahirah karena reputasinya yang tanpa cacat.
Pertemuan.
Suatu ketika, Khadijah mencari seorang manajer yang mampu memasarkan barang dagangannya. Saat itu ia mendengar tentang kepribadian Muhammad yang memiliki sifat jujur, amanah, dan berakhlak mulia . Khadijah pun menanyakan kesediaan Muhammad untuk menjual barang dagangannya dengan didampingi oleh pembantunya yang bernama Maisarah.
Setelah tercapai kesepakatan antara Khadijah dan Muhammad. Maka Khadijah menitipkan barang dagangannya itu kepadanya. Muhammad pun berangkat bersama Maisarah, dan Allah swt., menjadikan perniagaannya itu menghasilkan laba banyak. Khadijah merasa gembira sekali dengan hasil tersebut. Akan tetapi, ketakjubannya pada kepribadian Muhammad teramat besar dan lebih mendalam dari semuanya. Maisarah mempunyai cerita sendiri untuk Khadijah. Dia bercerita mengenai keuntungan-keuntungan yang diperoleh Muhammad untuknya. Namun bagi Maisarah yang paling penting dari cerita mengenai misi perdagangan itu adalah kisah mengenai watak dan kepribadian Muhammad itu sendiri. Dia sangat mengagumi bakatnya sebagai seorang pedagang. Dia bercerita kepada Khadijah bahwa Muhammad memiliki kemampuan yang sempurna untuk menatap masa depan.
Keputusan-keputusannya selalu tepat, dan perkiraan-perkiraannya tidak pernah salah, Maisarah juga menyinggung Masalah Kejujuran dan kesopanan Muhammad. Sejak saat itu muncullah benih cinta dari lubuk suci Khadijah yang belum pernah dirasakan olehnya sebelum itu. Di mata Khadijah, Muhammad adalah istimewa. Ekspedisi perdagangan Muhammad ke syria ternyata adalah awal menuju pernikahannya dengan Khadijah.
Mimpi Matahari Turun ke Rumah.
Pada suatu hari, saat pagi buta, dengan penuh kegembiraan ia pergi ke rumah sepupunya, yaitu Waraqah bin Naufal. Ia berkata, “Tapada malam aku bermimpi sangat menakjubkan. Aku melihat matahari berputar-putar di atas kota Mekkah, lalu turun ke arah bumi. Ia semakin mendekat dan semakin mendekat. Aku terus memperhatikannya untuk melihat ke mana ia turun. Ternyata ia turun dan memasuki rumahku. Cahayanya yang sangat agung itu membuatku tertegun. Lalu aku terbangun dari tidurku". Waraqah mengatakan, “Aku sampaikan berita gembira kepadamu, bahwa seorang lelaki agung dan mulia akan datang meminangmu. Ia memiliki kedudukan penting dan kemasyhuran yang semakin hari semakin meningkat".
Lamaran Khadijah ra.
Khadijah meminta bantuan sahabatnya, Nafisah binti Munabbih untuk menemui Muhammad al-Amin agar mau menikahinya. Sungguh Khadijah wanita jenius, ia tahu siapa orang yang tepat untuk diserahkan urusan ini. Kecerdasan Nafisah menjaga martabat Khadijah sebagai wanita dan membesarkan hati Muhammad sebagai pria, Perhatikan bagaimana cara Nafisah berdialog dengan Rasulullah:

·       Nafisah: “Wahai Muhammad, sekarang engkau telah mejadi pemuda terhormat, terpandang dan dewasa, namun mengapa engkau belum juga menikah?”
·       Muhammad: “Aku tidak memiliki apa-apa untuk menikah”
·       Nafisah: “Jika aku pilihkan untukmu seorang wanita, maka apakah kamu mau menerimanya?”
·       Muhammad: “Siapakah dia?”
·       Nafisah: “Sungguh tidak ada wanita lain pantas bersanding denganmu kecuali Khadijah. Dia cantik, dia dermawan, dia baik, dia punya status sosial yang bagus seperti kamu, dan kalian berdua sangat serasi”
·       Muhammad: “Lalu bagaimana mungkin aku menikah dengan Khadijah, aku tidak mempunyai mahar”
·       Nafisah: “Itu biar saya yang atur”
Muhammad saw bermaksud memberitahukan pembicaraanya dengan Nafisah kepada Abu Thalib yang merupakan paman dan pelindungnya. Abu Thalib sangat mengenal Khadijah as seperti mengenal kemenakannya sendiri. Ia menyambut tawaran Nafisah dengan baik. Ia sangat yakin kalau Muhammad saw dan Khadijah as akan menjadi pasangan Ideal.
Jawaban atas Lamaran sang Putri Arab.
Muhammad muncul di rumah Khadijah.
·       Khadijah ra.: “Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!”
(Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tetapi tahu harga dirinya)
·       Muhammad saw.: “Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu”
(Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban).
·       Khadijah ra.: “Oh, itukah…. Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa-apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan. Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu”
(Ia berhenti sejenak, meneliti kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandung isyarat)
“Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diinginkan oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu”
(Khadijah tertunduk lalu melanjutkan)
Tetapi sayang, ada aibnya…! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu.
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawaban, yang lainnya tak tahu apa yang mau dijawab. Khadijah ra., tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelaran Al-Amiin. Pemuda Al-Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah ra. Muhammad saw., minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan.
Ia menceritakan pertemuannya dengan khadijah kepada Pamannya.
·       Muhammad saw.: “Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah, Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya”
(Muhammad saw., mengulangi apa yang dikatakan oleh Khadijah ra.)
‘Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim.
·       ‘Atiqah: “Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya”
‘Atiqah tiba di rumah Khadijah r.a dan terus menegurnya. 
·       ‘Atiqah: “Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?” 
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata-katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati ‘Atiqah.
·       Khadijah ra.: “Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja kukatakan kepadamu bahwa dirikulah yang kumaksudkan kepada Muhammad Saw. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya, kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati”
Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah membuat ‘Atiqah terdiam. Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius. 
·       ‘Atiqah: “Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh sepupumu Waraqah bin Naufal?, Kalau belum cobalah meminta persetujuannya”
·       Khadijah ra.: “Ia belum tahu, tetapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan majlis lamaran”
Khadijah ra. berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan karena dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman. ‘Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya, Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan ‘Atiqah dengan Khadijah ra.
·       Abu Thalib: “itu bagus sekali, kata Abu Thalib. Tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad lebih dulu”
Majlis Penuh Berkah.
Dalam Majlis ini hadir Waraqah bin Naufal dan beberapa orang-orang terkemuka Arab yang sengaja dijemput. Abu Thalib dengan resmi meminang Khadijah ra., kepada saudara sepupunya. Orang tua bijaksana itu setuju. Tetapi dia meminta tempoh untuk berunding dengan Khadijah ra., berkenaan pernikahannya dengan Muhammad. Khadijah r.a diminta pendapat. Dengan jujur ia berkata kepada Waraqah:
·       Khadijah ra.: “Hai anak sepupuku, betapa aku akan menolak Muhammad padahal ia sangat amanah, memiliki keperibadian yang luhur, kemuliaan dan keturunan bangsawan, lagi pula pertalian kekeluargaannya luas”
·       Waraqah: “Benar katamu Khadijah, hanya saja ia tak berharta”
·       Khadijah ra: “Kalau ia tak berharta, maka aku cukup berharta. Aku tak memerlukan harta lelaki. Kuwakilkan kepadamu untuk menikahkan aku dengannya”
Waraqah bin Naufal kembali mendatangi Abu Thalib memberitakan bahwa dari pihak keluarga perempuan sudah bulat mufakat dan merestui bakal pernikahan kedua mempelai. Lamaran diterima dengan persetujuan mas kawin lima ratus dirham. Abu Bakar Ash-Shiddiq ra., sahabat akrab Muhammad saw., sejak dari masa kecil, memberikan sumbangan pakaian indah buatan Mesir, yang melambangkan kebangsawaan Quraisy, sebagaimana layaknya dipakai dalam upacara adat istiadat pernikahan agung, apalagi karena yang akan dinikahi adalah seorang hartawan dan bangsawan pula.
Pernikahan Khadijah Sang putri Arab dengan Muhammad Al-Musthafa.
Peristiwa pernikahan Muhammad saw., dengan Khadijah ra., berlangsung pada hari Jum’at tahun 595 Masehi, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah ra., ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad. Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib.
POTONGAN KHUTBAH WALIMAH ‘ARSY ABU THALIB
Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.
Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.
Demi Allah SWT, sesungguhnya aku mempunyai firasat tentang dirinya bahwa sesudah ini, yakni di saat-saat mendatang, ia akan memperolehi berita gembira (albasyaarah) serta pengalaman-pengalaman hebat. “Semoga Allah memberkati pernikahan ini.
Penyambutan untuk memeriahkan majlis pernikahan itu sangat meriah di rumah mempelai perempuan. Puluhan anak-anak lelaki dan perempuan berdiri berbaris di pintu sebelah kanan di sepanjang lorong yang dilalui oleh mempelai lelaki, mengucapkan salam marhaban kepada mempelai dan menghamburkan harum-haruman kepada para tamu dan pengiring.
Setelah menikah, Khadijah ra., tak tertarik lagi kepada perdagangan serta kesuksesan dibidang itu, pernikahan telah mengubah sifatnya. Dia telah mendapatkan Muhammad al Musthafa sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Pernikahan membuka lembaran baru dalam kehidupan Muhammad saw., dan Khadijah ra., Inti lembaran ini adalah kebahagiaan yang paling suci. Selain diberkahi kebahagiaan, perkawinan mereka juga dikaruniai anak-anak.
Anak-anak yang Shaleh.
Setelah menikah dengan Rasulullah saw., beliau dikurniakan 6 orang anak. Ke-6 orang anaknya hasil pernikahannya dengan Rasulullah lahir setelah ia berusia 40 tahun. Khadijah melahirkan 2 orang putra dan 4 orang putri. Anak pertama sekaligus putra pertama Rasulullah bernama Qasim. Putra kedua beliau bernama Abdullah, biasa dipanggil ath-thahir dan ath-thayyib karena dilahirkan setelah kedatangan Islam. Kedua putra ini meninggal dunia ketika masih bayi.  Anak ke-3 bernama Zainab, putri sulung yang lahir sebelum Nabi Muhammad saw., diutus Allah sebagai Rasul. Anak ke-4 dan ke-5 adalah Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Kedua putri beliau ini dinikahi oleh kedua anak Abu Lahab, Atabah dan Utaibah. Anak yang ke-6 adalah Fatimah Az-Zahra. Menikah dengan seorang sahabat yang terkenal dan disegani iaitu Ali bin Abi Thalib. Ia adalah ibunda Hassan dan Husein.
Khadijah dan Wahyu Pertama.
Muhammad bin Abdullah hidup berumah tangga dengan Khadijah binti Khuwailid dengan tentram di bawah naungan akhlak mulia dan jiwa suci sang suami. Ketika itu, Rasulullah saw., menjadi tempat mengadu orang-orang Quraisy dalam menyelesaikan perselisihan dan pertentangan yang terjadi di antara mereka. Hal itu menunjukkan betapa tinggi kedudukan Rasulullah di hadapan mereka pada masa prakenabian. Beliau menyendiri di Gua Hira, menghambakan diri kepada Allah swt., sesuai dengan ajaran Nabi Ibrahim as.
Khadijah sangat ikhlas dengan segala sesuatu yang dilakukan suaminya dan tidak khawatir selama ditinggal suaminya. Bahkan dia menjenguk serta menyiapkan makanan dan minuman selama beliau di dalam gua, karena dia yakin bahwa apa pun yang dilakukan suaminya merupakan masalah penting yang akan mengubah dunia. Ketika itu, Nabi Muhammad berusia empat puluh tahun.
Suatu ketika, seperti biasanya beliau menyendiri di Gua Hira (waktu itu bulan Ramadhan). Beliau sangat gemetar ketika mendengar suara gaib Malaikat Jibril memanggil beliau. Malaikat Jibril menyuruh beliau membaca, namun beliau hanya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Akhirnya, Malaikat Jibril mendekati dan mendekap beliau ke dadanya, seraya berkata, “Bacalah, wahai Muhammad!” Ketika itu Muhammad sangat bingung dan ketakutan, seraya menjawab, “Aku tidak dapat membaca.” Mendengar itu, Malaikat Jibril mempererat dekapannya, dan berkata, “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Dia mengajari manusia dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan segala sesuatu yang belum mereka ketahui.” Rasulullah Muhammad mengikuti bacaan tersebut. Keringat deras mengucur dari seluruh tubuhnya sehingga beliau kepayahan dan tidak menemukan jalan menuju rumah. Khadijah melihat beliau dalam keadaan terguncang seperti itu, kemudian memapahnya ke rumah, serta berusaha menghilangkan ketakutan dan kekhawatiran yang memenuhi dadanya. “Berilah aku selimut, Khadijah!” Beberapa kali beliau meminta istrinya menyelimuti tubuhnya. Khadijah memberikan ketenteraman kepada Rasulullah dengan segala kelembutan dan kasih sayang sehingga beliau merasa tenteram dan aman. Beliau tidak langsung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya kepada Khadijah karena khawatir Khadijah menganggapnya sebagai ilusi atau khayalan beliau belaka.
Pribadi yang Agung
Setelah rasa takut beliau hilang, Khadilah berupaya agar Rasulullah saw. mengutarakan apa yang telah dialaminya, dan akhirnya beliau pun menceritakan peristiwa yang baru dialaminya. Khadijah mendengarkan cerita suaminya dengan penuh minat dan mempercayai semuanya, sehingga Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. merasa bahwa istrinya pun menduga akan terjadinya hal-hal seperti itu.
Sejak semula Khadijah telah yakin bahwa suaminya akan menerima amanat Allah Yang Maha Besar untuk seluruh alam semesta. Kejadian tersebut merupakan awal kenabian dan tugas Muhammad menyampaikan amanat Allah kepada manusia. Hal itu pun merupakan babak baru dalam kehidupan Khadijah yang dengannya dia harus mempercayai dan meyakini ajaran Rasulullah Muhammad, sehingga Rasulullah mengatakan, “Aku mengharapkannya menjadi benteng yang kuat bagi diriku.”
Di sinilah tampak kebesaran pribadi serta kematangan dan kebijaksanaan pemikiran Khadijah. Khadijah telah mencapai derajat yang tinggi dan sempurna, yang belum pernah dicapai oleh wanita mana pun. Dia telah berkata kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, “Demi Allah, Allah tidak akan menyia nyiakanmu Engkau selalu menghubungkan silaturahim, berbicara benar, memikul beban orang lain, menolong orang papa, menghormati tamu, dan membantu meringankan derita dan musibah orang lain.”
Setelah Rasulullah merasa tenteram dan dapat tidur dengan tenang, Khadijah mendatangi anak pamannya, Waraqah bin Naufal, yang tidak terpengaruhi tradisi jahiliah. Khadijah menceritakan kejadian yang dialami suaminya. Mendengar cerita mengenai Rasulullah, Waraqah berseru, “Maha Mulia…Maha Mulia…. Demi yang jiwa Waraqah dalam genggaman-Nya, kalau kau percaya pada ucapanku, maka apa yang diihat Muhammad di Gua Hira itu merupakan suratan yang turun kepada Musa dan Isa sebelumnya, dan Muhammad adalah nabi akhir zaman, dan namanya tertulis dalam Taurat dan Injil.” Mendengar kabar itu, Khadijah segera menemui suaminya (Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam) dan menyampaikan apa yang dikatakan oleh Waraqah.
Awal Masa Jihad di Jalan Allah
Khadijah meyakini seruan suaminya dan menganut agama yang dibawanya sebelum diumumkan kepada masyarakat. Itulah langkah awal Khadijah dalam menyertai suaminya berjihad di jalan Allah dan turut menanggung pahit getirnya gangguan dalam menyebarkan agama Allah.
Beberapa waktu kemudian Jibril kembali mendatangi Muhammad Shallallahu alaihi wassalam. untuk membawa wahyu kedua dari Allah:
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan dan Tuhanmu agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa (menyembah berhala) tinggalkanlah, dan janganlab kamu memberi (dengan maksud) memperoleb (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstir:1-7)
Ayat di atas merupakan perintah bagi Rasulullah untuk mulai berdakwah kepada kalangan kerabat dekat dan ahlulbait beliau. Khadijah adalah orang pertama yang menyatakan beriman pada risalah Rasulullah Muhammad dan menyatakan kesediaannya menjadi pembela setia Nabi. Kemudian menyusul Ali bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah yang sejak kecil diasuh dalam rumah tangga beliau. Ali bin Abi Thalib adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, kemudian Zaid bin Haritsah, hamba sahaya Rasulullah yang ketika itu dijuluki Zaid bin Muhammad. Dari kalangan laki-laki dewasa, mulailah Abu Bakar masuk Islam, diikuti Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqash, az-Zubair ibnu Awam, Thalhah bin Ubaidilah, dan sahabat-sahat lainnya. Mereka masuk menyatakan Islam secara sembunyi-sembunyi sehingga harus melaksanakan shalat di pinggiran kota Mekah.
Masa Berdakwah Terang-terangan
Setelah berdakwah secara sembunyi- sembunyi, turunlah perintah Allah kepada Rasulullah untuk memulai dakwah secara terang-terangan. Karena itu, datanglah beliau ke tengah-tengah umat seraya berseru lantang, “Allahu Akbar, Allahu Akbar… Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya, Dia tidak melahirkan, juga tidak dilahirkan.” Seruan beliau sangat aneh terdengar di telinga orang-orang Quraisy. Rasulullah Muhammad memanggil manusia untuk beribadah kepada Tuhan yang satu, bukan Laata, Uzza, Hubal, Manat, serta tuhan-tuhan lain yang memenuhi pelataran Ka’bah. Tentu saja mereka menolak, mencaci maki, bahkan tidak segan-segan menyiksa Rasulullah. Setiap jalan yang beliau lalui ditaburi kotoran hewan dan duri.
Khadijah tampil mendampingi Rasulullah dengan penuh kasih sayang, cinta, dan kelembutan. Wajahnya senantiasa membiaskan keceriaan, dan bibirnya meluncur kata-kata jujur. Setiap kegundahan yang Rasulullah lontarkan atas perlakuan orang-orang Quraisy selalu didengarkan oleh Khadijah dengan penuh perhatian untuk kemudian dia memotivasi dan menguatkan hati Nabi Muhammad saw. Bersama Rasulullah, Khadijah turut menanggung kesulitan dan kesedihan, sehingga tidak jarang dia harus mengendapkan perasaan agar tidak terekspresikan pada muka dan mengganggu perasaan suaminya. Yang keluar adalah tutur kata yang lemah lembut sebagai penyejuk dan penawar hati.
Orang yang paling keras menyakiti Rasulullah adalah paman beliau sendiri, Abdul Uzza bin Abdul Muthalib, yang lebih dikenal dengan sebutan Abu Lahab, beserta istrinya, Ummu Jamil. Mereka memerintah anak-anaknya untuk memutuskan pertunangan dengan kedua putri Rasulullah, Ruqayah dan Ummu Kultsum. Walaupun begitu, Allah telah menyediakan pengganti yang lebih mulia, yaitu Utsman bin Affan bagi Ruqayah. Allah mengutuk Abu Lahab lewat firman-Nya :
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dan sabut. “ (QS. Al-Lahab:1-5)
Khadijah adalah tempat berlindung bagi Rasulullah. Dari Khadijah, beliau memperoleh keteduhan hati dan keceriaan wajah istrinya yang senantiasa menambah semangat dan kesabaran untuk terus berjuang menyebarluaskan agama Allah ke seluruh penjuru. Khadijah pun tidak memperhitungkan harta bendanya yang habis digunakan dalam perjuangan ini. Sementara itu, Abu Thalib, paman Rasulullah, menjadi benteng pertahanan beliau dan menjaga beliau dari siksaan orang-orang Quraisy, sebab Abu Thalib adalah figur yang sangat disegani dan diperhitungkan oleh kaum Quraisy.
Pemboikotan Kaum Quraisy terhadap Kaum Muslimin
Setelah berbagai upaya gagal dilakukan untuk menghentikan dakwah Rasulullah saw, baik itu berupa rayuan, intimidasi, dan penyiksaan, kaum Quraisy memutuskan untuk memboikot dan mengepung kaum muslimin dan menulis deklarasi yang kemudian digantung di pintu Ka’bah agar orang-orang Quraisy memboikot kaum muslimin, termasuk Rasulullah, istrinya, dan juga pamannya. Mereka terisolasi di pinggiran kota Mekah dan diboikot oleh kaum Quraisy dalam bentuk embargo atas transportasi, komunikasi, dan keperluan sehari-hari lainnya.
Dalam kondisi seperti itu, Rasulullah dan istrinya dapat bertahan, walaupun kondisi fisiknya sudah tua dan lemah. Ketika itu kehidupan Khadijah sangat jauh dari kehidupan sebelumnya yang bergelimang dengan kekayaan, kemakmuran, dan ketinggian derajat. Khadijah rela didera rasa haus dan lapar dalam mendampingi Rasulullah saw, dan kaum muslimin. Dia sangat yakin bahwa tidak lama lagi pertolongan Allah akan datang. Keluarga mereka yang lain, sekali-kali dan secara sembunyi-sembunyi, mengirimkan makanan dan minuman untuk mempertahankan hidup. Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun, tetapi tidak sedikit pun menggoyahkan akidah mereka, bahkan yang mereka rasakan adalah bertambah kokohnya keimanan dalam hati. Dengan demikian, usaha kaum Quraisy telah gagal, sehingga mereka mengakhiri pemboikotan dan membiarkan kaum muslimin kembali ke Mekah. Rasulullah saw, pun kembali menyeru nama Allah Yang Mulia dan melanjutkan jihad beliau.
Wafatnya Khadijah
Beberapa hari setelah pemboikotan, Abu Thalib jatuh sakit, dan semua orang meyakini bahwa sakit kali ini merupakan akhir dari hidupnva. Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufjan dan Abu Jahal membujuk Abu Thalib untuk menasehati Muhammad agar menghentikan dakwahnya, dan sebagai gantinya adalah harta dan pangkat. Akan tetapi, Abu Thalib tidak bersedia, dan dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam tidak akan bersedia menukar dakwahnya dengan pangkat dan harta sepenuh dunia.
Abu Thalib meninggal pada tahun itu pula, maka tahun itu disebut sebagai ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan) dalam kehidupan Rasulullah saw, Sebaliknya, orang-orang Quraisy sangat gembira atas kematian Abu Thalib itu, karena mereka akan lebih leluasa mengintimidasi Rasulullah saw. dan pengikutnya. Pada saat kritis menjelang kematian pamannya, Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam. membisikkan sesuatu, Secepat ini aku kehilangan engkau?
Pada tahun yang sama, Sayyidah Khadijah sakit keras akibat beberapa tahun menderita kelaparan dan kehausan karena pemboikotan itu. Semakin hari, kondisi badannya semakin menurun, sehingga Rasulullah saw., semakin sedih. Bersama Khadijahlah Rasulullah saw., membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia. Dalam sakit yang tidak terlalu lama, dalam usia enam puluh lima tahun, Khadijah meninggal, menyusul Abu Thalib. Khadijah dikuburkan di dataran tinggi Mekah, yang dikenal dengan sebutan al-Hajun. Rasulullah saw., sendiri yang mengurus jenazah istrinya, dan kalimat terakhir yang beliau ucapkan ketika melepas kepergiannya adalah: “Sebaik-baik wanita penghuni surga adalab Maryam binti Imran dan Khadijah binti Khuwailid.”
Khadijah meninggal setelah mendapatkan kemuliaan yang tidak pernah dimiliki oleh wanita lain, Dia adalah Ummul Mukminin istri Rasulullah yang pertama, wanita pertama yang mempercayai risalah Rasulullah, dan wanita pertama yang melahirkan putra-putri Rasulullah. Dia merelakan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan jihad di jalan Allah. Dialah orang pertama yang mendapat kabar gembira bahwa dirinya adalah ahli surga. Kenangan terhadap Khadijah senantiasa lekat dalam hati Rasulullah sampai beliau wafat.

Posting Komentar